Jumat, 23 November 2012

You may say I’m a dreamer….. But I’m not the only one.






Haii teman2…. Apa kabar? 

Lagi pada ngapain nih? Lagi sibuk bikin proposal? Lagi sibuk menghubungi narasumber? Lagi sibuk publikasi? Lagi sibuk nyari kertas/botol bekas? Lagi sibuk nyari link2 yg bisa ditembus buat sponsorship?
Mmm…. Oke deh, semua temen pasti lagi sibuukk….. Ada sih mungkin yg lagi gak sibuk, tapi kayaknya lagi sibuk dalam hal lain juga deh. Pasti lagi ngerjain HPP ya? Hohoho…….

Nah, di sela2 kesibukan kalian semua, izinkan saya untuk menyapa bentar ya, lewat tulisan saya ini. Yg katanya temen2 saya ini jago menulis (menulis abstrak banget sampe saya sendiri pun tidak tahu maksud dari apa yg saya tulis, hoho….). 

Saya gak mau mengganggu teman2 dgn pertanyaan ini kok: Sampai di mana progressnya? Apa target minggu depan? Berapa rupiah lagi jumlah yg harus kita kumpulkan?

Nggak kok…enggak…enggak….. 

Sejenak mari kita lupakan semua urusan dunia nyata itu dulu teman2. Bersiaplah, karena saya akan mengajak teman2 mengawang-ngawang, yeeiiii….. 

Hmmm… pejamkan mata anda. Berfokuslah pada udara yg anda hirup & hembuskan.. Rasakan secara perlahan sensasi tubuh anda. (lho..lho..kenapa instruksinya jd relaksasi begini? Hoho..). Ya memang relaksasi sih. Kan tujuannya biar temen2 lebih rileks. 

Nah, udah pada merem semua kan? Ya gak bisa merem dong Ma, kalo merem siapa yg baca tulisanmu sampe habis? Oh, iya… saya salah kasih instruksi, ehehe. Ya udah, sekarang melek dulu aja lah. Dibaca dulu tulisan saya. Nanti kalo udah selese baca, boleh diresapi lagi sambil merem2 ketiduran. 

Ini bahan relaksasinyaa…. Kalian harus baca curhatan saya di bawah ini dgn sepenuh hati….. ^^V

Alkisah pada suatu hari saya menyengajakan diri untuk tidak “here & now”. Saya mempersilakan pikiran & perasaan saya untuk terbang, tinggii…. Menuju 2 ruang rahasia. Ruang pertama adalah masa lalu. Ya, saya kembali pada masa setahun silam, ketika saya bertemu dgn teman2 mapronis 8. Hmm, siapa mereka ya? Orang2 yg begitu asing, orang2 yg tampak pintar dgn ilmunya masing2, orang2 yg berhasil masuk dgn seleksi ketat. Bisa disebut sbg: Orang2 yg Berkualitas. 

Di sebuah sudut, saya duduk diam & mengamati,”Oh, orang2 seperti mereka kah yg akan berteman dganku hingga kurang lebih 2 tahun ke depan?”. Dan tiba2 saya pun mulai salting. Salting dgn ke-pede-an saya sendiri, salting dgn kepandaian saya sndiri, salting dgn penampilan saya sndiri, salting dgn keaktifan saya sendiri, salting dgn………………… (hingga tak cukup kata untuk menggambarkan ke-salting-an saya, hoho…).

Salting dari hari pertama, salting dari minggu pertama, salting dari bulan pertama, dan……. Ah, ya. Finally I get the feeling. “Kelas ini milik saya lho. Kelas ini tempat saya berproses lho. Kelas ini tempat saya memadukan semua kepandaian mereka lhoo…. “ Awalnya saya memaksakan diri untuk bisa menyatu. Praktik konseling triad adalah hal yg tidak saya sukai. “Oh God, kenapa harus ada acara seperti ini? Kenapa saya harus membuka diri di depan mereka? Apa hak mereka untuk tahu masalah saya?.” Sampe2 saya pun harus merancang masalah sebelum berangkat kuliah,  “Mmm…nanti enaknya curhat masalah apa ya? Apa ya yg sekiranya tidak terlalu emosional, yg sekiranya aman2 aja untuk di-share ke mereka?” 

Lama2 saya jadi capek sendiri. Ketika melihat teman2 begitu lepas menceritakan masalah mereka, ternyata timbul rasa iri dalam diri saya. “Kapan ya saya bisa seperti itu? Bisa menjadi diri sendiri, apa adanya?” Yaah, dari situ saya menjadi tahu bahwa setiap orang itu unik, dgn karakter yg mereka miliki. Ternyata tidak ada orang yg benar2 pandai. Tidak ada orang yg benar2 pede. Tidak ada orang yg benar2 kuat. Orang yg tampak pandai pun ternyata menyimpan kekhawatiran. Orang yg tampak pede pun ternyata memiliki ketidakpuasan atas targetnya. Orang yg tampak kuat pun ternyata memiliki latar belakang masalah yg mengharu biru. 

Hingga saya pun berkesimpulan: Ternyata tidak ada orang yg hidupnya benar2 bahagia. Selalu ada cerita yg bervariasi atas hidup kita. Kadang menyenangkan, kadang tidak menyenangkan. Kadang kita bangga, kadang kita juga malu untuk mengakuinya. Kadang kita kuat, kadang juga lemah untuk menghadapinya.

Setelah saya menjadi tahu filosofi untuk menjadi diri sendiri, saya semakin nyaman membuka hati bersama teman2 mapronis. “Ah ya, ternyata bagian paling berkesan dari proses perkuliahan ini bukanlah sepandai apa saya ketika lulus nanti. Tapi se-natural apakah saya ketika lulus nanti. Ketika saya belum berhasil menjadi diri sendiri, maka sebenarnya saya belum layak lulus.” Semakin lama saya mengenal teman2, semakin saya merasa bahwa orang2 asing itu kini telah menjadi keluarga. Keluarga: orang2 yg mau membukakan pintu kapanpun di saat saya merasa kehilangan “rumah.” 

Oke, cukuplah porsi untuk ruang pertama tadi. Sekarang mari kita masuk ke ruang kedua: Masa depan.
Hmm.. itu adalah saat yg membahagiakan sekaligus menakutkan. Bahagia, karena saya akhirnya bisa memperoleh gelar psikolog, sesuatu yg telah saya perjuangkan dengan susah payah (melawan kemalasan dan prokrastinasi termasuk perjuangan juga kan? :p). Kini saya siap melangkah dengan mantap, memandang lurus ke depan, menapaki jejak2 keilmuan untuk mengajak manusia lainnya menemukan “pemaknaan” atas hidupnya. Yah, saya bahagiaa…. Memandangi wajah kedua orang tua saya yg telah mendukung saya dgn pelukan dan doa. “Bapak, ibu… inilah anakmu. Satu langkah telah saya capai. Ini adalah bukti bahwa ketulusan cinta darimu sungguh luar biasa.”

Hampir saja saya terus terlena akan kebahagiaan saya sendiri, kalau saja…. saya tidak menoleh ke sebelah samping saya. Apa itu? Hanya sebuah foto sederhana. Sebuah foto yang tidak bisa bercerita apa2. Yaa hanya sebuah foto, sebagaimana foto lainnya yg bisa dipasang dan dilepas di pigura dgn seenaknya. Sama sekali tidak istimewa. Hanya berisi saya dan teman-teman mapronis 8 yg sedang tertawa2.

Kalau saja saya tidak ambil bagian dalam foto itu, mungkin masa depan saya lebih nyaman. Mungkiin…..
Saya tidak perlu mengorbankan banyak waktu untuk mengurusi hal yg tidak penting. Cukuplah berfokus pada kuliah, PKP, tesis, atau urusan lainnya yg lebih menghasilkan duit. Saya tidak perlu menghabiskan energi untuk mengurusi mimpi, mimpi, dan mimpi. Saya tidak perlu mengurusi dia, dia, dan dia. Dia saja belum tentu mengurusi urusan saya kok, kenapa saya harus repot2 mengurusi dia yg sebanyak itu. 

Hmmmh, ya, saya bisa saja egois. Saya bisa saja lari setelah tahu bahwa tanggung jawab yg harus saya emban begitu berat. Saya bisa saja berpikir praktis: Apa sih gunanya berbuat sesusah itu? Merepotkan diri sendiri saja. Apakah saya ingin dipuji orang2 karena telah berhasil mencapai tempat tersebut? Toh tidak ada bedanya kan dgn wakil rakyat yang dicecar banyak orang dgn tindakan “bodoh”nya untuk berjalan2? Apa saya harus merasa keren karena membawa misi negara? Misi negara yg mana nih? 

Tapi… bagaimanapun saya telah memilih. Saya telah memilih untuk percaya pada mimpi. Saya telah memilih untuk percaya pada perubahan. Saya telah memilih untuk tidak memilih segala  kemungkinan buruk. Saya sebenarnya bukan orang yg terlalu percaya pada mimpi. Mimpi itu bikin capek, bikin pikiran melayang2, bikin sakit hati. Coba lihat, di dunia ini berapa persen sih orang yg mau mikirin mimpi? Mending juga mikirin target hidup masing2: kuliah, kerja, keluarga. Mimpi itu cuman bayang2 abstrak. 

Seandainya saja bukan teman2 yg mengajak saya bermimpi, mungkin saya akan memilih untuk berpikir praktis. Seandainya bukan teman2, orang2 asing yg telah menjelma menjadi rumah bagi saya, mungkin saya akan berpikir seribu kali untuk mengambil risiko ini. Semua keyakinan ini saya peroleh karena saya merasa aman, saya aman bermimpi bersama kalian. Saya aman mengambil langkah bersama kalian. Saya aman meskipun orang2 di sekitar saya meremehkan. Ya, saya tidak takut lagi untuk bermimpi.

Saya pandangi lagi foto itu. Memang foto ini hanya selembar kertas. Tapi melalui foto inilah kesetiakawanan kami sebagai keluarga benar2 diuji. Kami harus sekuat tenaga menyatukan setiap tangan agar tidak lepas. Kami harus membagi energi untuk saling menghidupkan semangat. Kami harus saling menguatkan bahu untuk tetap dapat berdiri tegak. 

Akhirnya saya pun bersyukur karena telah diberi kesempatan olehNya untuk belajar di kelas “mimpi”. Saya memang telah mengenal kelas konten & proses. Namun kelas mimpilah yg berhasil menyatukan konten dan proses dalam sentuhan tangan ajaibnya: mengubah harapan menjadi nyata. 

Kau tahu teman, apa hal yg saya takutkan dari masa depan? Ketika kita berpisah & kau tidak lagi menyimpan mimpi.  Bukankah kita telah bersama-sama belajar tentang mimpi, bahwa tidak ada hal yg tidak mungkin terwujud ketika kita percaya pd usaha & doa? Saya tidak ingin mimpi itu hanya menjadi harta karun milik kita, hanya kita yg bisa menikmati keindahannya. Saya berharap kita pun dapat membaginya untuk lebih banyak orang, memberikan kesempatan kepada mereka untuk percaya pada kebaikan yg terkandung pd setiap mimpi.

Saya terus memandangi foto itu sambil melantunkan lagunya om John Lennon,”You may say I’m a dreamer. But I’m not the only one. I hope someday you’ll join us. And the world will live as one.” Foto yg amat bermakna, dgn latar belakang sebuah kota yg mungkin hanya akan dikenang dalam sejarah kami sendiri : Melbourne.


by: Ima_gination

Kamis, 15 November 2012

Hujan dan Tukang Sate

Malam 1 Muharram 1434 H

Malam ini hujan deras disertai angin yang lumayan kencang
Aku bersyukur sekali sudah ada di rumah dan dalam keadaan segar sehabis mandi, bahkan makanan sudah siap untuk disantap.

Di tengah menyantap makanan, aku terkaget mendengar suara "krincing..krincing" yang cukup nyaring dari arah luar rumah.
Suara krincing krincing ini ternyata berasal dari bel seorang tukang sate yang biasa lewat di depan rumahku.
Dalam hati aku berkata
Ya Allah, itu beneran tukang sate jualan pas hujan deras begini? Semangat sekali!!!  

Ternyata perkataanku ini disahuti oleh diriku sendiri
Itu yang namanya bekerja keras! Bapak tukang sate ini pasti punya keluarga yang menunggunya di rumah. Kalau dia tidak terus berjualan, bagaimana caranya dia bisa memberi makan keluarganya? 
Saat aku mendengar diriku memberikan jawaban ini, aku langsung terdiam.
Jujur, aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi.
Apa yang diriku katakan benar, sangat tepat bahkan.

Lalu aku merujuk kepada keadaan kita saat ini..
Beberapa hari lalu kita sepakat untuk berlari bersama, sehingga mimpi kita untuk ke Melbourne bisa jadi nyata.
Beberapa hari lalu kita bersama-sama setuju bahwa kita tidak punya pilihan lain selain "SUKSES"

Bila kita memang telah setuju,
lalu akankah membiarkan "hujan" menghentikan langkah kita?

Jika Bapak tukang sate tersebut terus mendorong gerobaknya di tengah hujan, supaya ia tetap mampu memberi nafkah kepada keluarganya.
Dapatkah kita terus berusaha, supaya kita tetap mampu memberi kehidupan pada mimpi kita?

Jika Bapak tukang sate tersebut terus mendorong gerobaknya di tengah hujan, supaya ia mampu melihat wajah bahagia keluarganya.
Dapatkah kita terus berjuang, demi menghadirkan wajah bangga kita saat akhirnya mimpi untuk ke melbourne itu terwujud?

Dapatkah kita?
Atau mungkin... Maukah kita?

Wahyu Nhira Utami
Originally posted in here